BAHASA RAKYAT DAN POLITIK UANG

ANALISIS-KRITIS TERHADAP JARGON POLITIK DALAM PESTA DEMOKRASI

Authors

  • Muhaimin STAIN Jember

Konstelasi politik nasional mengalami perubahan pada reformasi 1998. Sejak itu, era monopolitik yang menjenuhkan selama lebih tiga dekade, berakhir pula. Masyarakat Indonesia memulai melangkahkan diri ke dalam arena baru perpolitikan nasional yang lebih bebas dan demok-ratis. Namun, satu fenomena yang kurang sehat, juga ikut menjamur seiring dengan suburnya bibit demokrasi; money politic (politik uang). Fenomena ini selalu menyertai setiap pesta demokrasi dalam semua bentuk dan level hajatan politik di Indonesia. Dari fenomena tersebut, muncul kritisisme masyarakat yang mewujud dalam bentuk jargon-jargon atau plesetan yang bersifat politis dan cenderung ditujukan sebagai kritik sosial atas apa yang tengah berlang-sung di masyarakat. Beberapa plesetan politis masyarakat diantaranya; “TongKet” yang diartikan dengan sittong seket, dan ”Berjuang” yang diartikan beras, baju, dan uang. Berkembangnya jargon-jargon tersebut, nampaknya rakyat tidak lagi sungkan atau ewuh pakewuh, apalagi takut untuk mengungkapkan kri-tisisme mereka. Apalagi, kemampuan berbahasa masyarakat semakin kreatif mengungkapkan hal-hal kritis, termasuk yang bersifat politis. Jika selama ini jargon politik dibuat oleh kaum elit untuk menguasai dan mengendalikan massa -dan ini adalah salah satu bentuk language empower-, maka kini ‘kaum bawah’pun dapat mengkritisi kekuasaan juga dengan jargon yang sengaja dimunculkan untuk dapat terbaca oleh para elit. Teori tentang bahasa dan kekuasaan tidak lagi berlaku bagi yang kuat untuk menguasai yang lemah, namun juga telah ber-kembang dan  bisa diartikan bagi yang lemah untuk menjatuhkan yang kuat.

Published

2022-03-21